
Negara-negara Asia tenggara termasuk Indonesia dan Malaysia mempunyai sejarah kolonialisme yang panjang.
Oleh karena itu ketika mereka memperoleh kemerdekaan, sengketa batas wilayah masing-masing negara terus bergulir dan cenderung menyebabkan konflik.
Salah satu kasus yang menghebohkan dunia adalah sengketa perbatasan wilayah antara Indonesia dan Malaysia di pulau kalimantan. Tepatnya pulau Sipadan dan Ligitan.
Isu tersebut menjadi lebih krusial karena siapa pun yang memiliki kedua pulau tersebut, akan memiliki hak untuk mengklaim wilayah laut teritorial.
Pulau-pulau ini berjarak sekitar 15,5 mil laut. Sipadan terletak pada 4° 06′ Lintang Utara dan 118° 37 Bujur Timur. Letaknya 15 mil laut dari Tanjung Tutop, Sabah, dan 42 mil laut dari perbatasan darat antara Malaysia dan Indonesia di pantai timur pulau Sebatik yang separuhnya milik Indonesia.
Sedangkan Ligitan terletak pada 4° 09’ Lintang Utara dan 118° 53’ Bujur Timur. Terletak 21 mil laut dari Tanjung Tutop di Semenanjung Samporna di Sabah dan 57,6 mil laut dari pulau Sebatik.
Klaim zona laut teritorial ini akan diperpanjang sampai 12 mil laut dari garis pangkal di pantai. Negara yang menjadi pemilik kedua pulau tersebut berhak untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan fitur landas kontinen yang melekat padanya.
Sumber daya yang tampak melimpah ini bisa dibilang menjadi salah satu alasan substansial bagi kedua negara yang tidak ingin mengurangi nilai kedua pulau ini sama sekali.
Akhirnya pada tahun 2002 ICJ memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan milik Malaysia dan bukan milik Indonesia.
Lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah Indonesia, di masa yang akan datang menjadi catatan sejarah penting bagi bangsa Indonesia.
Konflik Malaysia-Singapura
Konflik batas wilayah yang hingga kini juga masih bergulir antara Malaysia dan singapura adalah klaim Malaysia atas pulau Batu Puteh atau Pedra Branca.
Kasus tersebut telah berlangsung selama hampir tiga dekade.
Pada tahun 2008, ICJ memutuskan bahwa Pedra Branca milik Singapura, sementara kedaulatan atas Middle Rocks di dekatnya diberikan kepada Malaysia.
Pada tahun 2017 Malaysia kembali mengajukan permohonan kepada ICJ untuk merevisi keputusan tersebut, yaitu mengembalikan Pedra Branca atau Pulau batu Puteh ke Malaysia. Tetapi sejak Mahathir Muhammad kembali menjadi perdana menteri di tahun 2018 pemerintahannya mengambil keputusan untuk menghentikan proses laporan tersebut.
Klaim Malaysia terhadap Kepulauan Riau
Setelah sekian lama sejak kasus Ambalat bergulir. Konflik batas Wilayah Indonesia- Malaysia tampak “Cooling Down”.
Suasana tenang antara kedua negara ini, tampaknya akan kembali memanas, karena pidato mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Muhammad tanggal 19 Juni 2022.
Pernyataan kontroversial mantan perdana menteri tersebut disampaikan pada sebuah acara konferensi organisasi non pemerintahan di Selangor.
Dalam pidato tersebut Mahathir mengatakan jika kemenangan Malaysia dalam memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan Indonesia merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Lebih lanjut Mahathir mengatakan jika seharusnya tidak hanya pulau batu Puteh yang dikembalikan kepada Malaysia, tetapi juga menuntut Singapura dan Kepulauan Riau, karena mereka adalah bagian dari Tanah Melayu.
Tanah Melayu dulunya luas, membentang dari Tanah Genting Kra di Thailand selatan sampai ke Kepulauan Riau, dan Singapura, tetapi sekarang terbatas di Semenanjung Malaya. Ulas Mahathir dalam Pidato tersebut.
Ia juga mengatakan Malaysia saat ini bukan milik bumiputera, karena banyak orang Melayu yang tetap miskin dan cenderung menjual tanahnya.
Mahathir menyampaikan pesan kepada para hadirin untuk belajar dari kesalahan masa lalu , dia berkata: “Jika kami menemukan kami salah, kami harus memperbaiki kesalahan ini sehingga tanah kami tetap tanah Melayu.”